Minggu, 03 April 2011

koflik dialektika


ASUMSI DASAR TEORI KONFLIK DIALEKTIKA
1.      PERUBAHAN SOSIAL merupakan gejala yang melekat di setiap masyarakat
2.      KONFLIK adalah gejala yang melekat pada setiap masyarakat
3.      SETIAP UNSUR didalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya DISINTEGRASI dan PERUBAHAN-PERUBAHAN SOSIAL
4.      Setiap masyarakat terintegrasi diatas PENGUASAAN atau DOMINASI oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain menurut penganut teori konflik: Konflik tidak bisa dilenyapkan, tetapi hanya bisa dikendalikan agar konflik latent tidak menjadi manifest dalam bentuk violence/kekerasan.

TEORI KONFLIK DIALEKTIKA
Teori konflik Menurut Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
  1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
  2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
  3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif
Teori konflik Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
  1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
  2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
Teori konflik Menurut Myers Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
  1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
  2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Teori konflik menurut Aron
1.      Masyarakat industri modern adalah masyarakat sederajat mengenai aspirasi penduduk tetapi bersifat hirarkis dilihat dari sudut organisasi masyarakat. Dengan kata lain, ada kontradiksi antara keyakinan tentang hak semua indifidu untuk mendapatkan sesuatu seperti martabat yang sama, kebahagian yan sama, dan kewarganegaraan yang sama disatu pihak, dan organisasi produksi yang bersifat hirarkis untuk mencapai hasil maksimal dilain pihak.
2.      Menyangkut kontradiksi sosialisasi. Masing-masing aspirasi indifidu, justru menjadi seorang indifidu tanpa nama, menjadi anggota massa yang tak saling mengenal. Ini memerlukan tingkat kekayaan tertentu untuk mencapai indufidualitas; tetapi kemakmuran yang sama menuntut indifidu tunduk kepada sistem produksi agar pertumbuhan ekonomi tidak menjadi berkurang. Hasil kontradiksi ini adalah kecenderungan indifidu untuk semakin kehilangan kepribadian dan menderita keterasingan atau kepribadian menyimpang atau keduanya.
3.      Dialektika universitas Ini menyangkut ide “satu dunia” semua bangsa menginginkan kemakmuran dan kekuasaan seperti yang telah dicapai bangsa barat dan Jepang melalui industrialisasi. Kenyataannya, ada kesenjangan antara bangsa-bangsa, sehingga dunia cenderung mengalami pertentangan yang menjurus kearah persatuan dan perpecahan.
Teori konflik menurut Ralf  Dahendrof
Teori konflik bertujuan mengatasi watak yang secara dominan bersifat arbiter dari peristiwa-peristiwa sejarah yang tidak dapat di jelaskan, dengan menurunkan peristiwa-peristiwa tersebut dari elemen-element struktur sosial. Dengan kata lain, menjelaskan proses-proses tertentu dengan penyajian yang bersifat ramalan. Koflik antar buruh dan majikan memang memerlukan penjelasan : tetapi yang lebih penting ialah menunjukkan bukti bahwa konflik yang demikian didasari oleh susunan-susunan struktur tertentu, yang oelh karenanya di manapun cenderung melahirkan susunan struktur sebagai yang telah ada.
Teori konflik menurut Karl Marx
Karl Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi status dan kekuasaan politik. Nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan bentuk-bentuk kesadaran dan hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas.
Teori konflik menurut Lewis A. Coser
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel. Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. Contohnya dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yyang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan klienya, tetapi setelah meinggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
Teori konflik menurut Jonathan Turner
Teori konflik dari Jonathan Turner, dia mengemukan 3 persoalan utama dalam teori konflik yaitu tidak ada definisi yang jelas mengenai konflik atau apa yang bukan konflik, kedua, teori konflik dilihat mengambang karena tidak menjelaskan unit analisis secara jelas, apakah itu konflik individu, kelompok, institusi, organisasi atau konflik antar bangsa. Ketiga adalah teori konflik ini merupakan reaksi dari teori fungsionalisme structural maka sulit dipisahkan dari teori tersebut. Turner mempusatkan pada konflik sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa atau fenomena yang mengarah pada interaksi yang disertai kekerasan antara 2 pihak atau lebih dan Turner juga menjelaskan konflik yang terbuka, singkatnya adalah system sosial terdiri dari unit-unit yang saling berhubungan satu sama lainnya dan didalamnya terdapat ketidak-keseimbangan atas pembagian kekuasan dan kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuasan mulai mempertanyakan legistimasi, pertanyaan tersebut mengubah kesadaran untuk mengubah system alokasi kekuasan.
















ASUMSI DASAR TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
1.      Sebuah sistem terdiri dari beberapa bagian atau subsisten yang saling berhubungan.
2.      Sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu.
3.      Keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.
4.      Perubahan sosial dapat digambarkan dari perubahan struktur ekonomi.
5.      Masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
Menurut Robert K. Merton
Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itutidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Robert K. Marton berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti: peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan sebagainya.
Menurut Emile Durkheim
Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “ patologis “. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social.
Menurut Talcott Parsons
Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
            Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsu adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :
  1. Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu menanggulangu situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
  2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
  3. Integrasi, sebuah sistem harus mensgatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
  4. Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Menurut Francesca Cancian
Francesca Cancian memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau. Teori struktural fungsional mengansumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain ; faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.
Menurut Dahrendorf
Dahrendorf mengenai pokok-pokok teori fungsionalismeadalah sebagai berikut :
1.      Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil.
2.       Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik.
3.       Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem.
4.       Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada consensus mengenai nilai dikalangan para anggotanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar